Rabu, 05 Januari 2011

Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan Eksekutif STI



Alih Pengetahuan dan Keselarasan SIS
Alih pengetahuan merupakan proses seorang anggota jaringan dipengaruhi oleh pengalaman dari anggota lainnya (Argote dan Ingram 2000; Inkpen dan Tsang 2005), menitikberatkan pada kesediaan individu dalam organisasi untuk berbagi pengetahuan yang mereka dapatkan atau ciptakan dengan yang lain (Gibbert dan Krause 2002; dikutip oleh Bock et al. 2005), pertukaran dua arah (dyadic) dari pengorganisasian pengetahuan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Szulanski 1996; Ko et al., 2005). Darr dan Kurtzberg (2000) serta Ko et al. (2005) lebih jauh menjelaskan, alih pengetahuan terjadi “ketika seorang kontributor berbagi pengetahuan yang digunakan oleh seorang adopter” atau dengan kata lain pengetahuan dikatakan dialihkan apabila terjadi pembelajaran, dan ketika penerima mengerti seluk beluk dan implikasi yang berhubungan dengan pengetahuan tersebut sehingga dia dapat menggunakannya (Darr dan Kurtzberg 2000; Ko et al., 2005).
Beberapa peneliti menyatakan faktor terbesar kegagalan keselarasan SIS adalah perbedaan pengetahuan antara eksekutif bisnis dan eksekutif SIS. Nelson dan Cooprider (1996) menyatakan berbagi pengetahuan antara kelompok STI dan manajemen lini akan meningkatkan efektivitas STI yang secara langsung mempengaruhi keselarasan SIS dalam organisasi. Preston dan Karahanna (2004) juga menyatakan pentingnya mekanisme pertukaran pengetahuan yang mempengaruhi keselarasan SIS secara tidak langsung melalui mediasi model berbagi mental (shared mental models/SMMs).
Antiseden Kemudahan Alih Pengetahuan
Faktor Pengetahuan
Szulanski (1996) mendefinisikan tiga faktor hambatan pengetahuan sebagai kekakuan hubungan antara sisumber dan sipenerima, ambiguitas kausal dan kemampuan mengabsorbsi. Ko et al. 2005 menambahkan faktor kesepahaman dalam faktor yang terkait dengan hambatan pengetahuan yang diadopsi dari Nelson dan Cooprider (1996).
Kekakuan Hubungan Pada Kemudahan Alih Pengetahuan
Beberapa penelitian mengusulkan salah satu faktor penting yang mempengaruhi alih pengetahuan adalah hubungan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Argote 1999; dikutip oleh Ko et al., 2005). Mengalihkan pengetahuan memerlukan interaksi yang berulangkali antar orang yang terlibat (Nonaka 1994; Ko et al., 2005). Kesuksesan interaksi bergantung pada kualitas hubungan (Ko et al., 2005). Kekakuan hubungan (arduous relationship) didefinisikan sebagai hubungan yang secara emosional sulit dan hubungan yang jauh antara sumber dengan seorang penerima, (Szulanski 1996; Ko et al., 2005), mempengaruhi kemampuan sumber mengalihkan pengetahuan yang diperlukan dan bagi si penerima untuk mempelajari serta menggunakan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, kekakuan hubungan antara sumber dengan penerima membawa dampak negatif terhadap keefektifan alih pengetahuan (Baum dan Ingram 1998; dikutip oleh Ko et al., 2005).
Kemampuan absorbsi merupakan kemampuan penerima untuk mengenali arti penting dan nilai eksternal knowledge, memahami dan menggunakannya (Cohen dan Levinthal 1990; Ko et al., 2005). Zahra dan George (2002) dalam Malholtra et al., (2005), mengkonseptualisasikan kemampuan absorbsi sebagai kemampuan dinamis mengenai kreasi dan kegunaan pengetahuan yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan keuntungan persaingan. Menurut Dagfous (2004), Kemampuan absorbsi terdiri dari akuisisi, assimilasi, transformasi dan kemampuan eksploitasi. Walaupun jika seorang manajer mengetahui mengenai praktik terbaik, dia mungkin tidak memiliki sumber daya (waktu atau uang) ataupun detail praktis untuk mengimplementasikan (Szulanski 1996; O’Dell dan Grayson 1998). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kemampuan absorbsi berhubungan positif dengan alih pengetahuan (Szulanski 1996; Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Szulanski (1996) menemukan bahwa ketiadaan kemampuan absorbsi dalam alih praktik terbaik merupakan hambatan utama alih pengetahuan perusahaan. Lane et al. (2001) menemukan bahwa kemampuan absorbsi memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembelajaran dan kinerja pada usaha bersama internasional (internal joint venture) ./
Ambiguitas Kausal (Causal Ambiguity)
Penyebab kendala alih pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai faktor motivasi atau kendala kognitif (Fross dan Pederson 2001; dikutip oleh Alamsyah dan Wijanto 2005). Kendala kognitif berupa ambiguitas kausal, kompleksitas, ketacitan, kemampuan absorbsi. Ambiguitas kausal merupakan ambiguiti hubungan antara sumberdaya perusahaan dengan keuntungan kompetitif yang bertahan (Reed dan DeFillippi 1990; Barney, 1991; dikutip oleh Szulanski 2000). Ambiguiti merupakan ketidakmampuan untuk menginterpretasikan atau membuat masuk akal (make sense) sesuatu hal (Zack 1998; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005), kurangnya kejelasan (Levinthal dan March 1993; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005). Adanya ambiguitas kausal akan membatasi penggunaan secara efektif keterampilan dan sumber daya. Szulanski (2000) menyatakan alih pengetahuan terjadi dalam empat tahapan yang berbeda dan menemukan bahwa ambiguitas kausal signifikan pada keseluruhan tahapan dalam menentukan hambatan alih pengetahuan.
Kesepahaman (Shared Understanding)
Kesepahaman menunjukkan tingkatan nilai kerja, norma, philosofi, pendekatan pemecahan masalah, dan pengalaman kerja terdahulu bagi kedua belah pihak (sumber dan penerima) memiliki kesamaan (Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Penelitian menyarankan kesamaan heuristik dan kesamaan pengalaman antara sumber dan penerima merupakan antaseden penting dari alih pengetahuan (Hansen 1999; dikuti oleh Ko et al., 2005), yang melampui hambatan dalam pemahaman dan penerimaan antara sumber dan penerima (Krauss dan Fussel 1990; dikutip oleh Ko et al., 2005), dan dengan demikian kedua partisipan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja menuju tujuan bersama (Nelson dan Cooprider 1996; Ko et al., 2005). Ketiadaan kesepahaman, menyebabkan ada suatu tendensi bagi partisipan untuk saling tidak setuju mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan dan mengapa, yang dapat menyebabkan hasil yang buruk. (Bennet 1996; Gerwin dan Moffat 1997; dikutip oleh Ko et al.2005). Preston dan Karahanna (2004) menemukan bahwa kesepahaman memiliki pengaruh signifikan pada hubungan antar CIO dan TMT yang merupakan faktor utama dalam keefektifan IS dan keselarasan SIS.
Faktor Motivasi
Alih pengetahuan tidak terjadi tanpa adanya biaya partisipan. Individu percaya bahwa keuntungan yang diharapkan akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Bukan hanya dikarenakan proses alih pengetahuan membutuhkan waktu dan usaha (Gibbert dan Krause 2002; Firth 2004; Kankanhanlli et al., 2005), tetapi dengan melakukan alih pengetahuan dalam konteks organisasi mendatangkan dilema klasik “kepemilikan umum” (Barry dan Hardin 1982; Marwell dan Oliver 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Firth 2004), suatu aset pengetahuan yang berpengaruh pada kesuksesan organisasi, dapat digunakan oleh yang lain, tanpa mengetahui apakah akan memberikan timbal balik (Dawes 1980; Thorn dan Connoly 1987; dikutip oleh Bock et al., 2005). Dilema ini kemudian diperkuat ketika keahlian (mis; reputasi seseorang) menjadi sangat bernilai tetapi mengajarkan atau menolong yang lain dianggap tidak penting (Leonard dan Sensiper 1998; Bock et al., 2005). Seseorang menolak untuk melakukan alih pengetahuan bukan hanya disebabkan ketakutan akan kehilangan nilai uniknya dalam organisasi, tetapi apabila pengetahuan yang dialihkan dipandang tidak berharga atau tidak relevan dianggap dapat merusak reputasi mereka (Firth 2004; Bock et al., 2005). Faktor kurangnya penghargaan intrinsik serta ekstrinsik sebagai bentuk kompensasi atas biaya yang dikeluarkan dari mengalihkan pengetahuanmenjadi penghalang umum alih pengetahuan (Bock et al., .2005; Kankanhalli et al., 2005).
Faktor motivasi dalam penelitian ini berasal dari teori pertukaran sosial (social exchange teori), yang menyatakan bahwa perilaku manusia dalam pertukaran social (Blau 1964; dikutip oleh Kankanhanlli et al., 2005), berbeda dari pertukaran ekonomi dalam faktor kewajiban yang tidak jelas. Dalam proses pertukaran, individu melakukan sesuatu dengan sebuah pengharapan umum akan adanya timbal balik tetapi dengan pengharapan yang tidak jelas akan timbal balik tersebut dalam waktu tertentu (Kankanhanlli et al., 2005).
Szulanski mengidentifikasi sejumlah faktor sebagai motivasional –termasuk kurangnya insentif, kurang kepercayaan diri, proteksi turf, dan sidrome “tidak diperhitungkan disini” –Szulanski secara empiris hanya menguji bentuk umum “kurangnya motivasi” pada sisi sumber dan sipenerima. Dia menemukan bahwa motivasi kedua belah pihak (sinarasumber dan sipenerima) secara khusus berpengaruh pada alih pengetahuan. Peneliti lain juga telah berteori dan menemukan sebuah hubungan positif antara motivasi dan alih pengetahuan (Argote 1999 dalam Ko et al., 2005). Beberapa peneliti menyatakan perbedaan temuan dapat menyebabkan kegagalan untuk mempertimbangkan dampak berbeda motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Perbedaan ini, baik untuk manajer atas maupun eksekutif SI, dimasukkan pada penelitian ini.
Motivasi Ekstrinsik
Dari perspektif sosial-ekonomi, seorang pelaku individu diasumsikan memilih rangkaian tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan tertentu dan serangkaian pilihan yang pasti (Smelser dan Swdberg 1994; dikutip oleh Bock et el., 2005). Dalam pertukaran sosial, keuntungan bertindak sebagai motivator perilaku manusia yang dapat berupa ekstrinsik maupun intrinsik (Kankanhanlli et al., 2005). Alih pengetahuan seringkali terjadi ketika karyawan menerima insentif yang melebihi biaya yang mereka keluarkan (Massey et al., 2002; Firth 2004; Bock et al., 2005). Koordinasi motivasi secara ekstrinsik dicapai dengan menghubungkan motivasi monetary karyawan dengan tujuan perusahaan (Osterloh dan Frey 2000). Massey et al. (2002) ketika mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, mereka mendapatkan faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan ataupun kesediaan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu yaitu sistem insentif.
Motivasi Intrinsik
Karyawan secara intrinsik termotivasi ketika kebutuhan mereka secara langsung terpenuhi (misalnya tujuan self-defined) atau ketika kepuasan mereka terletak pada kontent aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsic terjadi ketika suatu aktivitas “bernilai untuk pribadi dan dipandang sebagai aktualisasi diri” (Calder dan Staw 1975; dikutip oleh Ko et al., 2005) Kepuasan tersebut muncul dari kesenangan intrinsik mereka dalam menolong yang lain (Ba et al. 2001; Constant et al. 1994; Constant et al. 1996; dikutip oleh Kankanhanlli et al. 2005). O’Dell dan Grayson (1998) menemukan bahwa motivasi intrinsik sangat penting terhadap proses mengalihkan pengalaman terbaik.
Iklim Organisasi
Bahwa iklim organisasi merupakan penggerak utama alih pengetahuan secara umum telah diketahui (Constant et al. 1996; Orlikowski 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Huber 2001) dan secara khusus digambarkan dengan baik oleh Robert Buckman (1998) dan Bock et al. (2005) bahwa untuk menjamin keefektifan alih pengetahuan, organisasi perlu merubah kultur dari yang menyembunyikan pengetahuan (hoarding of knowledge) menjadi kultur yang menghargai pengetahuan, organisasi perlu menciptakan iklim yang dapat membantu perkembangan hubungan yang saling percaya dan jangka panjang. Bock et al. (2005) mengidentifikasi tiga aspek dari iklim organisasi agar kondusif dengan alih pengetahuan: keadilan (fairness), yang mencerminkan persepsi bahwa praktek organisasi adalah bersifat adil dan tidak sewenang-wenang ataupun berubah-ubah, membangun dan memberikan kepercayaan antara anggota untuk melakukan alih pengetahuan. Jadi keadilan dapat diharapkan menuntun karyawan untuk membagi pengetahuan yang mereka miliki dan menjadi lebih berpengetahuan akan proses pekerjaan mereka (Kim dan Mauborgne 1997; Bock et al., 2005). Inovasi (Innovativeness), yang menggambarkan persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas secara aktif didorong dan diberi penghargaan, menekankan pada pembelajaran, alur informasi yang terbuka, dan berani mengambil resiko. Konsekuensinya, individu dalam konteks pekerjaan yang innovatif lebih menyukai berbagi ide baru dan kreatif dengan yang lain dibandingkan dalam konteks pekerjaan yang non-innovatif (Kim dan Lee 1995; dikutip oleh Bock et al., 2005). Afiliasi (affiliation), didefinisikan sebagai persepsi perasaan kebersamaan antar anggota organisasi, mencerminkan perilaku peduli dan pro-sosial, sifatnya kritis untuk mengajak seorang anggota organisasi untuk menolong yang lain. Penelitian yang dilakukan Bock et al. (2005) memperlihatkan bahwa iklim organisasi yang dipengaruhi oleh afiliasi, keadilan, dan inovasi berimplikasi positif terciptanya proses alih pengetahuan yang efektif.

ref : www.akuntansiku.co
m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar