Rabu, 05 Januari 2011

tugas kelompok etika akuntansi publik

DEFINISI ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.

Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :

· Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.

· Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang
dapat ditentukan oleh akal.

· Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS

Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bisnis
�� Physical
�� Kualitas air dan udara, keamanan
�� Moral
�� Kebutuhan akan kejujuran (fairness) dan keadilan (equity)
�� Bad Judgment
�� Kesalahan operasi, kompensasi eksekuitf
�� Activist Shareholders
�� Shareholders etis, konsumen dan environmentalist
�� Economic
�� Kelemahan, tekanan utk bertahan
�� Competition
�� Tekanan global
�� Financial Malfeasance
�� Berbagai skandal akuntansi dan keuangan
�� Governance Failures
�� Pengakuan thd arti penting good governance dan isu-isu etika
�� Accountability
�� Kebutuhan akan transparansi
�� Synergy
�� Publikasi, perubahan-perubahan yg berhasil Anis Chariri Etika Bisnis dan Profesi 7
�� Institutional Reinforcement
�� Hukum/UU baru utk mereformasi praktik bisnis dan profesi

BUDAYA ETIKA

Untuk membangun suatu masyarakat bangsa yang lebih beretika hendaknya dimulai dari kesadaran pribadi kita sendiri dan masih banyak pola-pola studi banding sederhana dan efisien yang bisa kita lakukan penelitian lebih lanjut di dalam kehidupan masyarakat,

PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI

Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Karakter menunjukkan personality seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis akuntan publik akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya. Profesi juga dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Untuk menegakkan akuntansi sebagai sebuah profesi yang etis, dibutuhkan etika profesi dalam mengatur kegiatan profesinya. Etika profesi itu sendiri, dalam kerangka etika merupakan bagian dari etika sosial. Karena etika profesi menyangkut etika sosial, berarti profesi (dalam hal ini profesi akuntansi) dalam kegiatannya pasti berhubungan dengan orang/pihak lain (publik). Dalam menjaga hubungan baik dengan pihak lain tersebut akuntan haruslah dapat menjaga kepercayaan publik.

Dalam kenyataannya, banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka sendiri.

Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.

KODE ETIK PROFESI AKUNTANSI

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
(1) Prinsip Etika,
(2) Aturan Etika, dan
(3) Interpretasi Aturan Etika.

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Disamping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.

Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ETIKA DALAM AUDITING

a. Posisi Auditor Internal

Posisi auditor internal (satuan pengawasan intern) di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah diatur dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. Selain itu juga diatur dalam SK Menteri BUMN No. 117/M-BUMN/2002 tentang Penerapan GCG di BUMN. Sedangkan untuk perusahaan publik telah diatur melalui Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor : Kep-496/BL/2008 tanggal 28 Nopember 2008 tentang pembentukan dan pedoman penyusunan piagam Unit Audit Internal. Sarbanes Oxley Act (2002) memberikan kewenangan akses yang lebih luas kepada Departemen Audit Internal. Berdasarkan aturan (regulasi) tersebut, saat ini posisi auditor internal di Perusahaan merupakan pilar penting dan salah satu faktor kunci sukses (key success factor) dalam sistem pengendalian manajemen (management control system) agar pengelolaan perusahaan dapat berjalan sesuai prinsip–prinsip GCG.

b. Peran Auditor Internal

Mengingat dampak KFG sangat mempengaruhi kelangsungan usaha (going concern) serta dapat menurunkan kinerja perusahaan, maka auditor internal tidak boleh hanya berpangku tangan saja menjadi penonton, namun diharapkan dapat turut serta secara aktif membantu manajemen meminimalisasi dampak KFG yang mungkin timbul di perusahaan. Paling tidak terdapat 3 (tiga) peran yang dapat dilakukan oleh Auditor internal dalam menghadapi dampak KFG sbb :

1. Mendorong terwujudnya GCG secara efektif.

Meskipun GCG bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam reformasi bisnis, namun komitmen perusahaan terhadap iplementasi prinsip-prinsip GCG merupakan salah satu faktor kunci sukses (key succes factor) untuk mempertahankan dan menumbuhkan kepercayaan para investor (terutama investor asing) terhadap perusahaan di Indonesia. GCG saat ini sedang menjadi trend dan isu sentral di kalangan bisnis. Berdasarkan hasil penelitian, terjadinya skandal bisnis (business gate), misalnya Enron, Worldcom, Tyco, Global Crosing dll ternyata salah satunya disebabkan prinsip-prinsip GCG tidak dijalankan secara sungguh-sungguh, konsekuen dan konsisten. Respon pihak Pemerintah, BUMN, perusahaan swasta maupun perusahaan multinasional sangat positif atas upaya mewujudkan GCG tersebut. Perusahaan yang tidak mengimplementasikan GCG, pada akhirnya dapat ditinggalkan oleh para investor, kurang dihargai oleh masyarakat (publik) dan, dapat dikenakan sanksi apabila berdasarkan hasil penilaian ternyata perusahaan tersebut melanggar hukum. Perusahaan seperti ini akan kehilangan peluang (opportunity) untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya (going concern) dengan lancar. Namun sebaliknya perusahaan yang telah mengimplementasikan GCG dapat menciptakan nilai (value creation) bagi masyarakat (publik), pemasok (supplier), distributor, pemerintah, dan ternyata lebih diminati para investor sehingga berdampak secara langsung bagi kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Pada saat ini GCG sudah bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan lagi, melainkan sudah menjadi kebutuhan bagi setiap pelaku bisnis untuk mengimplementasikan pada aktivitas operasional sehari-hari (day to day operation). Auditor internal dapat berperan dalam mendorong terwujudnya GCG di perusahaan. Beberapa hal yang perlu mendapat dukungan penuh dari auditor internal, misalnya :

· Mendorong transparansi (transparency) dan integritas (integrity) dalam pelaporan keuangan (financial reporting) perusahaan.

· Mendorong akuntabilitas (accountability) dalam pengelolaan aset perusahaan.

· Mendorong pertanggungjawaban (responsibility) perusahaan kepada public melalui Corporate Social Responsibility /CSR, Community Development atau Program Kemitraan & Bina Lingkungan (PKBL).

· Mendorong independensi (independency) perusahaan terhadap pihak-pihak terkait, termasuk pemegang saham minoritas.

· Mendorong kewajaran (fairness) dalam pengadaan barang & jasa termasuk dipastikannya tidak ada pelanggaran terhadap UU anti monopoli & persaingan usaha yang sehat.

2. Melaksanakan audit yang bernilai tambah dengan pendekatan audit berbasiskan risiko.

Dalam rangka menghadapi KFG yang saat ini masih berlangsung, maka auditor internal hendaknya dapat melaksanakan audit yang bernilai tambah (value added internal auditing/VAIA) dengan pendekatan audit berbasis risiko (Risk Based Internal Auditing/RBIA). Auditor internal hendaknya dapat melakukan assesment atas Operational & quality effectiveness, Business risk., Business & process control, Process & business efficiencies, Cost reduction opportunities, Waste elimination opportunities, dan Corporate governance efectiveness.

· Tujuan dari VAIA adalah agar auditor internal dapat :
Memberikan analisis operasional secara obyektif & independen.

· Menguji berbagai fungsi, proses dan aktivitas suatu organisasi serta external value chain.

· Membantu organisasi dalam merancang strategi bisnis yang obyektif.

· Melakukan assesment secara sistematis dengan pendekatan multidisiplin.

· Melakukan evaluasi & menilai efektivitas risk management , control & governance processes.

3. Melaksanakan pencegahan, pendeteksian & penginvestigasian kecurangan.

Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan (prevention), pendeteksian (detection) dan penginvestigasian (investigation) kecurangan (fraud) yang terjadi di suatu organisasi (perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) – standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan. Selain itu, menurut Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985), memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana auditor internal melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud.

Karakteristik Kecurangan

Dilihat dari pelaku fraud maka secara garis besar kecurangan bisa dikelompokkan menjadi dua jenis :

1. Oleh pihak perusahaan, yaitu :

a. Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting).

b. Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).

2. Oleh pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha, dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

a. Salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan.

Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan. Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan.

b. Salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva

Kecurangan jenis ini biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.

· Pencegahan Kecurangan

Salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah timbulnya fraud adalah melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system) selain melalui struktur / mekanisme pengendalian intern. Dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab atas pengendalian intern adalah pihak manajemen suatu organisasi. Dalam rangka pencegahan fraud, maka berbagai upaya harus dikerahkan untuk membuat para pelaku fraud tidak berani melakukan fraud. Apabila fraud terjadi, maka dampak (effect) yang timbul diharapkan dapat diminimalisir. Auditor internal bertanggungjawab untuk membantu pencegahan fraud dengan jalan melakukan pengujian (test) atas kecukupan dan kefektivan sistem pengendalian intern, dengan mengevaluasi seberapa jauh risiko yang potensial (potential risk) telah diidentifikasi.
Dalam pelaksanaan audit reguler (rutin), misalnya audit kinerja (performance audit), audit keuangan (financial audit) maupun audit operasional (operational audit), auditor internal harus mengidentifikasi adanya gejala kecurangan (fraud symptom) berupa red flag atau fraud indicator. Hal ini menjadi sangat penting, sehingga apabila terjadi fraud, maka memudahkan auditor internal melakukan audit investigasi.

· Pendeteksian Kecurangan

Deteksi fraud mencakup identifikasi indikator-indikator kecurangan (fraud indicators) yang memerlukan tindaklanjut auditor internal untuk melakukan investigasi. Auditor internal perlu memiliki keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam mengidentifikasi indikator terjadinya fraud. Auditor internal harus dapat mengetahui secara mendalam mengapa seseorang melakukan fraud termasuk penyebab fraud, jenis-jenis fraud, karakterisitik fraud, modus operandi (teknik-teknik) fraud yang biasa terjadi. Apabila diperlukan dapat menggunakan alat bantu (tool) berupa ilmu akuntansi forensik (forensic accounting) untuk memperoleh bukti audit (audit evidence) yang kuat dan valid. Forensic accounting merupakan suatu integrasi dari akuntansi (accounting), teknologi informasi (information technology) dan keahlian investigasi ( investigation skill).

· Penginvestigasian Kecurangan

Investigasi merupakan pelaksanaan prosedur lebih lanjut bagi auditor internal untuk mendapatkan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah fraud yang telah dapat diidentifikasi tersebut memang benar-benar terjadi. Pelaksanaan audit investigasi mengikuti work instruction serta ketentuan yang telah ditetapkan oleh Standar Profesi Audit Internal maupun organisasi Institute of Internal Auditor (IIA).

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com (Artikel ini telah dimuat di Majalah Krakatau Steel Group/ KSG Edisi 43 / VII/ Tahun 2009, pada Rubrik “OPINI”, Hlm. 40-42 Oleh : Muh. Arief Effendi / SPI PT. KS)
www.yahoo.com (Internal Audit Understanding For Lawyer, Legal & Compliance Officer)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN AKUNTANSI



Kecerdasan Emosional

Kamus Bahasa Indonesia kontemporer mendefinisikan emosi sebagai keadaan yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti sedih, luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu cepat. Emosi merujuk pada suatu perasan dan pikiran-pikiran yang khasnya, suatu keadaan yang biologis dan psikologis serta serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Emosional adalah hal-hal yang berhubungan dengan emosi.

Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik di dalam diri kita dan hubungan kita. Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan kemampuan akademik murni, yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (1998), kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Salovely dan Mayer (1990) dalam Cherniss (2000), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Temuan beberapa peneliti, seperti David Wechsler (1958) dalam Cherniss (2000) mendefinisikan kecerdasaan sebagai keseluruhan kemampuan seeorang untuk bertindak bertujuan, untuk berfikir rasional, dan untuk berhubungan dengan lingkungannya secara efektif. Aspek-aspek yang terkait dalam afeksi, personal dan faktor sosial. Temuan Wechsler ini mengidentifikasikan, selain aspek kognisi, aspek non-kognisi juga berpengaruh dalam mencapai keberhasilan hidup. Kematangan dan kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi. Mayer, dalam Golemen (2000), menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari.

Komponen kecerdasan emosional

Steiner (1997) dalam Kukila (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional mencakup 5 komponen, yaitu mengetahui perasaan sendiri, memiliki empati, belajar mengatur emosi-emosi sendiri, memperbaiki kerusakan sosial, dan interaktivitas emosional. Cooper dan Sawaf (1998) merumuskan kecerdasan emosional sebagai sebuah titik awal model empat batu penjuru, yang terdiri dari kesadaran emosi, kebugaran emosi, kedalaman emosi, dan alkimia emosi.

Goleman dalam William Bulo (2002) secara garis besar membagi dua kecerdasan emosional yaitu kompetensi personal yang meliputi pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri dan kompetensi sosial yang terdiri dari empati dan keterampilan sosial. Goleman, mengadaptasi lima hal yang tercakup dalam kecerdasan emosional dari model Salovely dan Mayer, yang kemudian diadaptasi lagi oleh Bulo (2002) yaitu pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan sosial.

Kecakapan terbagi kedalam beberapa kelompok, masing-masing berlandaskan kompentensi kecerdasan emosional yang sama, namun seperti yang dinyatakan Goleman dalam William Bulo (2002) resep untuk memiliki kinerja menonjol hanya mempersyaratkan kita kuat dalam sejumlah kecakapan tertentu, biasanya paling sedikit enam, dan kekuatan itu tersebar merata di kelima bidang kecerdasan emosional

ref : www.akuntansiku.com
.

Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan Eksekutif STI



Alih Pengetahuan dan Keselarasan SIS
Alih pengetahuan merupakan proses seorang anggota jaringan dipengaruhi oleh pengalaman dari anggota lainnya (Argote dan Ingram 2000; Inkpen dan Tsang 2005), menitikberatkan pada kesediaan individu dalam organisasi untuk berbagi pengetahuan yang mereka dapatkan atau ciptakan dengan yang lain (Gibbert dan Krause 2002; dikutip oleh Bock et al. 2005), pertukaran dua arah (dyadic) dari pengorganisasian pengetahuan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Szulanski 1996; Ko et al., 2005). Darr dan Kurtzberg (2000) serta Ko et al. (2005) lebih jauh menjelaskan, alih pengetahuan terjadi “ketika seorang kontributor berbagi pengetahuan yang digunakan oleh seorang adopter” atau dengan kata lain pengetahuan dikatakan dialihkan apabila terjadi pembelajaran, dan ketika penerima mengerti seluk beluk dan implikasi yang berhubungan dengan pengetahuan tersebut sehingga dia dapat menggunakannya (Darr dan Kurtzberg 2000; Ko et al., 2005).
Beberapa peneliti menyatakan faktor terbesar kegagalan keselarasan SIS adalah perbedaan pengetahuan antara eksekutif bisnis dan eksekutif SIS. Nelson dan Cooprider (1996) menyatakan berbagi pengetahuan antara kelompok STI dan manajemen lini akan meningkatkan efektivitas STI yang secara langsung mempengaruhi keselarasan SIS dalam organisasi. Preston dan Karahanna (2004) juga menyatakan pentingnya mekanisme pertukaran pengetahuan yang mempengaruhi keselarasan SIS secara tidak langsung melalui mediasi model berbagi mental (shared mental models/SMMs).
Antiseden Kemudahan Alih Pengetahuan
Faktor Pengetahuan
Szulanski (1996) mendefinisikan tiga faktor hambatan pengetahuan sebagai kekakuan hubungan antara sisumber dan sipenerima, ambiguitas kausal dan kemampuan mengabsorbsi. Ko et al. 2005 menambahkan faktor kesepahaman dalam faktor yang terkait dengan hambatan pengetahuan yang diadopsi dari Nelson dan Cooprider (1996).
Kekakuan Hubungan Pada Kemudahan Alih Pengetahuan
Beberapa penelitian mengusulkan salah satu faktor penting yang mempengaruhi alih pengetahuan adalah hubungan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Argote 1999; dikutip oleh Ko et al., 2005). Mengalihkan pengetahuan memerlukan interaksi yang berulangkali antar orang yang terlibat (Nonaka 1994; Ko et al., 2005). Kesuksesan interaksi bergantung pada kualitas hubungan (Ko et al., 2005). Kekakuan hubungan (arduous relationship) didefinisikan sebagai hubungan yang secara emosional sulit dan hubungan yang jauh antara sumber dengan seorang penerima, (Szulanski 1996; Ko et al., 2005), mempengaruhi kemampuan sumber mengalihkan pengetahuan yang diperlukan dan bagi si penerima untuk mempelajari serta menggunakan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, kekakuan hubungan antara sumber dengan penerima membawa dampak negatif terhadap keefektifan alih pengetahuan (Baum dan Ingram 1998; dikutip oleh Ko et al., 2005).
Kemampuan absorbsi merupakan kemampuan penerima untuk mengenali arti penting dan nilai eksternal knowledge, memahami dan menggunakannya (Cohen dan Levinthal 1990; Ko et al., 2005). Zahra dan George (2002) dalam Malholtra et al., (2005), mengkonseptualisasikan kemampuan absorbsi sebagai kemampuan dinamis mengenai kreasi dan kegunaan pengetahuan yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan keuntungan persaingan. Menurut Dagfous (2004), Kemampuan absorbsi terdiri dari akuisisi, assimilasi, transformasi dan kemampuan eksploitasi. Walaupun jika seorang manajer mengetahui mengenai praktik terbaik, dia mungkin tidak memiliki sumber daya (waktu atau uang) ataupun detail praktis untuk mengimplementasikan (Szulanski 1996; O’Dell dan Grayson 1998). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kemampuan absorbsi berhubungan positif dengan alih pengetahuan (Szulanski 1996; Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Szulanski (1996) menemukan bahwa ketiadaan kemampuan absorbsi dalam alih praktik terbaik merupakan hambatan utama alih pengetahuan perusahaan. Lane et al. (2001) menemukan bahwa kemampuan absorbsi memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembelajaran dan kinerja pada usaha bersama internasional (internal joint venture) ./
Ambiguitas Kausal (Causal Ambiguity)
Penyebab kendala alih pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai faktor motivasi atau kendala kognitif (Fross dan Pederson 2001; dikutip oleh Alamsyah dan Wijanto 2005). Kendala kognitif berupa ambiguitas kausal, kompleksitas, ketacitan, kemampuan absorbsi. Ambiguitas kausal merupakan ambiguiti hubungan antara sumberdaya perusahaan dengan keuntungan kompetitif yang bertahan (Reed dan DeFillippi 1990; Barney, 1991; dikutip oleh Szulanski 2000). Ambiguiti merupakan ketidakmampuan untuk menginterpretasikan atau membuat masuk akal (make sense) sesuatu hal (Zack 1998; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005), kurangnya kejelasan (Levinthal dan March 1993; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005). Adanya ambiguitas kausal akan membatasi penggunaan secara efektif keterampilan dan sumber daya. Szulanski (2000) menyatakan alih pengetahuan terjadi dalam empat tahapan yang berbeda dan menemukan bahwa ambiguitas kausal signifikan pada keseluruhan tahapan dalam menentukan hambatan alih pengetahuan.
Kesepahaman (Shared Understanding)
Kesepahaman menunjukkan tingkatan nilai kerja, norma, philosofi, pendekatan pemecahan masalah, dan pengalaman kerja terdahulu bagi kedua belah pihak (sumber dan penerima) memiliki kesamaan (Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Penelitian menyarankan kesamaan heuristik dan kesamaan pengalaman antara sumber dan penerima merupakan antaseden penting dari alih pengetahuan (Hansen 1999; dikuti oleh Ko et al., 2005), yang melampui hambatan dalam pemahaman dan penerimaan antara sumber dan penerima (Krauss dan Fussel 1990; dikutip oleh Ko et al., 2005), dan dengan demikian kedua partisipan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja menuju tujuan bersama (Nelson dan Cooprider 1996; Ko et al., 2005). Ketiadaan kesepahaman, menyebabkan ada suatu tendensi bagi partisipan untuk saling tidak setuju mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan dan mengapa, yang dapat menyebabkan hasil yang buruk. (Bennet 1996; Gerwin dan Moffat 1997; dikutip oleh Ko et al.2005). Preston dan Karahanna (2004) menemukan bahwa kesepahaman memiliki pengaruh signifikan pada hubungan antar CIO dan TMT yang merupakan faktor utama dalam keefektifan IS dan keselarasan SIS.
Faktor Motivasi
Alih pengetahuan tidak terjadi tanpa adanya biaya partisipan. Individu percaya bahwa keuntungan yang diharapkan akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Bukan hanya dikarenakan proses alih pengetahuan membutuhkan waktu dan usaha (Gibbert dan Krause 2002; Firth 2004; Kankanhanlli et al., 2005), tetapi dengan melakukan alih pengetahuan dalam konteks organisasi mendatangkan dilema klasik “kepemilikan umum” (Barry dan Hardin 1982; Marwell dan Oliver 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Firth 2004), suatu aset pengetahuan yang berpengaruh pada kesuksesan organisasi, dapat digunakan oleh yang lain, tanpa mengetahui apakah akan memberikan timbal balik (Dawes 1980; Thorn dan Connoly 1987; dikutip oleh Bock et al., 2005). Dilema ini kemudian diperkuat ketika keahlian (mis; reputasi seseorang) menjadi sangat bernilai tetapi mengajarkan atau menolong yang lain dianggap tidak penting (Leonard dan Sensiper 1998; Bock et al., 2005). Seseorang menolak untuk melakukan alih pengetahuan bukan hanya disebabkan ketakutan akan kehilangan nilai uniknya dalam organisasi, tetapi apabila pengetahuan yang dialihkan dipandang tidak berharga atau tidak relevan dianggap dapat merusak reputasi mereka (Firth 2004; Bock et al., 2005). Faktor kurangnya penghargaan intrinsik serta ekstrinsik sebagai bentuk kompensasi atas biaya yang dikeluarkan dari mengalihkan pengetahuanmenjadi penghalang umum alih pengetahuan (Bock et al., .2005; Kankanhalli et al., 2005).
Faktor motivasi dalam penelitian ini berasal dari teori pertukaran sosial (social exchange teori), yang menyatakan bahwa perilaku manusia dalam pertukaran social (Blau 1964; dikutip oleh Kankanhanlli et al., 2005), berbeda dari pertukaran ekonomi dalam faktor kewajiban yang tidak jelas. Dalam proses pertukaran, individu melakukan sesuatu dengan sebuah pengharapan umum akan adanya timbal balik tetapi dengan pengharapan yang tidak jelas akan timbal balik tersebut dalam waktu tertentu (Kankanhanlli et al., 2005).
Szulanski mengidentifikasi sejumlah faktor sebagai motivasional –termasuk kurangnya insentif, kurang kepercayaan diri, proteksi turf, dan sidrome “tidak diperhitungkan disini” –Szulanski secara empiris hanya menguji bentuk umum “kurangnya motivasi” pada sisi sumber dan sipenerima. Dia menemukan bahwa motivasi kedua belah pihak (sinarasumber dan sipenerima) secara khusus berpengaruh pada alih pengetahuan. Peneliti lain juga telah berteori dan menemukan sebuah hubungan positif antara motivasi dan alih pengetahuan (Argote 1999 dalam Ko et al., 2005). Beberapa peneliti menyatakan perbedaan temuan dapat menyebabkan kegagalan untuk mempertimbangkan dampak berbeda motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Perbedaan ini, baik untuk manajer atas maupun eksekutif SI, dimasukkan pada penelitian ini.
Motivasi Ekstrinsik
Dari perspektif sosial-ekonomi, seorang pelaku individu diasumsikan memilih rangkaian tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan tertentu dan serangkaian pilihan yang pasti (Smelser dan Swdberg 1994; dikutip oleh Bock et el., 2005). Dalam pertukaran sosial, keuntungan bertindak sebagai motivator perilaku manusia yang dapat berupa ekstrinsik maupun intrinsik (Kankanhanlli et al., 2005). Alih pengetahuan seringkali terjadi ketika karyawan menerima insentif yang melebihi biaya yang mereka keluarkan (Massey et al., 2002; Firth 2004; Bock et al., 2005). Koordinasi motivasi secara ekstrinsik dicapai dengan menghubungkan motivasi monetary karyawan dengan tujuan perusahaan (Osterloh dan Frey 2000). Massey et al. (2002) ketika mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, mereka mendapatkan faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan ataupun kesediaan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu yaitu sistem insentif.
Motivasi Intrinsik
Karyawan secara intrinsik termotivasi ketika kebutuhan mereka secara langsung terpenuhi (misalnya tujuan self-defined) atau ketika kepuasan mereka terletak pada kontent aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsic terjadi ketika suatu aktivitas “bernilai untuk pribadi dan dipandang sebagai aktualisasi diri” (Calder dan Staw 1975; dikutip oleh Ko et al., 2005) Kepuasan tersebut muncul dari kesenangan intrinsik mereka dalam menolong yang lain (Ba et al. 2001; Constant et al. 1994; Constant et al. 1996; dikutip oleh Kankanhanlli et al. 2005). O’Dell dan Grayson (1998) menemukan bahwa motivasi intrinsik sangat penting terhadap proses mengalihkan pengalaman terbaik.
Iklim Organisasi
Bahwa iklim organisasi merupakan penggerak utama alih pengetahuan secara umum telah diketahui (Constant et al. 1996; Orlikowski 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Huber 2001) dan secara khusus digambarkan dengan baik oleh Robert Buckman (1998) dan Bock et al. (2005) bahwa untuk menjamin keefektifan alih pengetahuan, organisasi perlu merubah kultur dari yang menyembunyikan pengetahuan (hoarding of knowledge) menjadi kultur yang menghargai pengetahuan, organisasi perlu menciptakan iklim yang dapat membantu perkembangan hubungan yang saling percaya dan jangka panjang. Bock et al. (2005) mengidentifikasi tiga aspek dari iklim organisasi agar kondusif dengan alih pengetahuan: keadilan (fairness), yang mencerminkan persepsi bahwa praktek organisasi adalah bersifat adil dan tidak sewenang-wenang ataupun berubah-ubah, membangun dan memberikan kepercayaan antara anggota untuk melakukan alih pengetahuan. Jadi keadilan dapat diharapkan menuntun karyawan untuk membagi pengetahuan yang mereka miliki dan menjadi lebih berpengetahuan akan proses pekerjaan mereka (Kim dan Mauborgne 1997; Bock et al., 2005). Inovasi (Innovativeness), yang menggambarkan persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas secara aktif didorong dan diberi penghargaan, menekankan pada pembelajaran, alur informasi yang terbuka, dan berani mengambil resiko. Konsekuensinya, individu dalam konteks pekerjaan yang innovatif lebih menyukai berbagi ide baru dan kreatif dengan yang lain dibandingkan dalam konteks pekerjaan yang non-innovatif (Kim dan Lee 1995; dikutip oleh Bock et al., 2005). Afiliasi (affiliation), didefinisikan sebagai persepsi perasaan kebersamaan antar anggota organisasi, mencerminkan perilaku peduli dan pro-sosial, sifatnya kritis untuk mengajak seorang anggota organisasi untuk menolong yang lain. Penelitian yang dilakukan Bock et al. (2005) memperlihatkan bahwa iklim organisasi yang dipengaruhi oleh afiliasi, keadilan, dan inovasi berimplikasi positif terciptanya proses alih pengetahuan yang efektif.

ref : www.akuntansiku.co
m

FENOMENA FLYPAPER EFFECT PADA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA DAN KABUPATEN DI INDONESIA



Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan dari teori perilaku konsumen. Wilde (1968) mempelopori analisis transfer ke dalam format kendala anggaran dan kurva indiferensi. Analisis Wilde dapat diringkas ke dalam Gambar 1 yang menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik. Layaknya seorang individu, masyarakat mempunyai preferensi seperti ditunjukkan oleh kurva indiferensi (U0, U1, U2) dengan kendala anggaran (garis Y dan Y+G (grant)). Masyarakat dianggap berperilaku rasional yang memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya.
Transfer bersyarat (conditional grants) berpengaruh pada konsumsi barang privat melalui efek harga. Bantuan bersyarat, misalnya transfer penyeimbang tidak terbatas (open-ended matching grants), akan menurunkan harga barang publik. Dalam konteks ini, pemerintah memberikan subsidi untuk setiap unit barang publik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (atas), bantuan bersyarat berasosiasi dengan pergeseran garis anggaran berputar ke kanan sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Konsekuensinya, konsumsi barang publik mengalami peningkatan dari yang semula Z0 menjadi sebesar Z1.
Pengaruh tranfer bersyarat pada konsumsi barang privat tergantung pada sensitivitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat apabila pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak. Sebelum ada penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat adalah sebesar X1. Setelah penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat meningkat menjadi sebesar X2. Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian berakibat pada kenaikan konsumsi barang publik dan sebagian lagi pada konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui penurunan tarif pajak.
Dalam kasus bantuan tak bersyarat (unconditional grants), transfer sebesar G memberikan kenaikan garis anggaran dari Y ke Y+G pada Gambar 1 (bawah). Mengikuti Bradford dan Oates (1971a, 1971b), Borcherding dan Deacon (1972), dan Bergstrom dan Goodman (1973), barang publik diasumsikan sebagai barang normal. Dengan asumsi tersebut, transfer yang bersifat umum (lump-sum) akan menggeser keseimbangan konsumen dari titik E0 ke EM. Pada posisi keseimbangan yang baru tersebut, konsumsi barang publik dan barang privat masing-masing menjadi sebesar Z1 dan X1.
Dengan sifatnya yang tidak bersyarat, tekanan fiskal pada basis pajak lokal akan menurun yang kemudian menyebabkan penerimaan pajak juga mengalami penurunan, yaitu sebesar -ΔTR, sementara pengeluaran konsumsi barang publik tetap meningkat. Ini berarti transfer akan mengurangi beban pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu menaikkan pajak guna membiayai penyediaan barang publik. Oleh karena itu, analisis ini menegaskan bahwa pengeluaran pemerintah daerah dalam penyediaan barang publik tidak akan berbeda sebagai akibat dari penurunan pajak daerah atau kenaikan transfer.
Dalam hal bantuan tak bersyarat ini, banyak ekonom yang mengamati pemunculan anomali (Gramlich, 1977; Courant, Gramlich, dan Rubinfeld, 1979). Para peneliti menemukan keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer berada pada titik EFP (bukannya pada EM) yang menunjukkan kenaikan penerimaan pajak daerah (+ΔTR) dan juga kenaikan konsumsi barang publik (dari Z1 menjadi Z2). Ini berarti transfer meningkatkan pengeluaran konsumsi barang publik, tetapi tidak menjadi substitut bagi pajak daerah. Fenomena tersebut di dalam banyak literatur disebut sebagai flypaper effect*).
Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998). Fenomena flypaper effect dapat terjadi dalam dua versi (Gorodnichenko, 2001). Pertama merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan. Kedua mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah.
Anomali tersebut memicu diskusi yang instensif di antara ahli ekonomi. Perdebatan tersebut menghasilkan beberapa penjelasan yang ditawarkan. Dalam khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik menelaah flypaper effect dari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya.

ref : www.akuntansiku.com